Selasa, 06 November 2007

PELACURAN BERAWAL DARI UPACARA KEAGAMAAN

PELACURAN BERAWAL DARI UPACARA KEAGAMAAN

Propesi yang paling tertua dan masih dijalankan sampai hari ini sepanjang peradaban kehidupan manusia adalah bisnis “pelacuran” dalam perkembangannya memang mengalami suatu bentuk degradasi statusnya. Namun kita tidak bisa mengelak begitu saja, walaupun terkadang kita menganggap kata “pelacur” itu tabu. Tetapi naluri tersebut selalu menembus dinding moralitas yang sekokoh apapun yang pernah dibangun untuk menahannya. “Jack The Riepper” sang pembunuh keji adalah salah satu ungkapan protes seorang subyek, ditengah kondisi moralitas sosial yang membelenggu naluri-naluri alamiah kita. Ini yang kemudian bisnis seksualitas ini selalu saja diminati sebagai ruang pelepasan non structural, ditengah kondisi rutinitas structural yang monolitik (top down) mencengkram subyek-subyek sosial.maka tekanan-tekanan sosial adalah salah satu penyebab penyakit psikis subyek masyarakat untuk sekedar melepaskan diri sejenak dari etika sosialnya, agar mampu bertahan dengan jeratan kekuasaan sosial yang mengkondisikan dan memaksa sang subyek agar hidup sesuai dengan definitive sosialnya. Pelacur menyediakan ruang bagi sang subyek untuk menjadi penguasa walaupun sesaat, karena disitu sipelacur siap memuaskan birahi dan tunduk terhadap perintah apapun. Suatu keseimbangan yang memang terkadang kitapun membutuhkannya, walaupun kadang pen-legitimasiaannya hanya sebatas ruang-ruang reflektif bagi kita yang dianggap sang buaya bajingan, ataupun sang bijak sekalipun.

Berikut ini beberapa sejarah pelacuran yang bersumber dari penulis wanita yang juga pernah menekuni bisnis pelacuran. Penulis adalah Nickie Robets, yang lahir dari keluarga juru tenun di Lancashire, keluar dari sekolah ketika berusia 15 tahun, bekerja sebagai buruh pabrik, pelayan dan pegawai kantor. Ia melakukan perjalanan ke London, Prancis, Italy, Portugal, Tunisia. Tahun 1972 ia bekerja sebagai penari telanjang (stripper) di Soho, dengan menggunakan nama samaran Bonnie de Ville dan Fanny Fatale. Pada tahun 1980-an ia mulai menulis untuk media massa seperti Time Out, Spare Rib, The Statesman, dan Cosmopolitan. Buku pertamanya, The Front Line, Women in the Sex Industry Speak terbit pada tahun 1986. tahun 1992 ia menerbitkan buku berikutnya, Whoves in History; buku Prostitution in Western Society. Berikut ini adalah bagian terkecil yang diambil secara acak dari buku tersebut.

WANITA SEBAGAI PUSAT PERADABAN

Mungkin kita tidak pernah mengira bahwa dahulu kaum wanitalah yang paling dominan didalam kehidupan manusia. Ahli antropoogi, Evelyn Reed (Women Evolution, 1979) mengungkapkan bahwa kaum wanita membangun kemanusiaan dari kerajaan hewan ketika mereka menciptakan organisasi sosial yang pertama, yaitu klan matriarkat. Wanita juga menjadi pusat kegiatan ekonomi dari masyarakat awal ini, karena mereka mengumpulkan antara 65 sampai 80 persen makanan masyarakat. Dalam bab yang sama sangat menarik, berjudul The Productive of Record Primitive (Rekor Produktiv Wanita Primitif), Reed mendaftar berbagai prestasi mereka, termasuk penemuan cara bertani bahan makanan, penemuan pertama tentang berbagai peralatan, seperti tongkat penggali (linggis), wadah dari bahan kulit kayu atau kulit hewan, bahkan penggunaan api dan pemeliharaan hewan dirumah, penggunaan tumbuhan untuk obat. Dan kemudia ia (Reed) berspekulasi bahwa bidang bahasa berevolusi melalui aktifitas kelompok wanita, selain kemampuan ajaib wanita yang mampu memproduksi manusia. Karena kemampuan wanita meliputi semua hal pokok yang membangkitkan dunia, maka wajar bila wanita dahulu di pandang sebagai perwujudan dari daya kreatif dunia, yang oleh manusia zaman Batu digambarkan sebagai Dewi.

Pembuktian melalui karya seni dari zaman Batu menguatkan posisi sentral wanita. Jika mundur jauh kebelakan sampai pada kebudayaan-kebudayaan Gravettian-Aurignacian dari paleolitic atau Zaman Batu Lama (sekitar 25.000 tahun SM), hampir semua hasil pakatan dan patung yang ditemukan ditempat-tempat yang membentang di Eropa mulai dari Spanyol sampai Rusia, semuanya berbentuk wanita. Dalam sejumlah kebudayaan misalnya kebudayaan aurignacian di padang rumput Eropa Timur, karya seni yang berbentuk pria sama sekali tidak di temukan.

Menurut Monica Sjoo dan Barbara Mor, dua wanita penulis yang mungkin melangkah paling jauh dengan merekonstruksi agama prasejarah, patung-patung dan lukisan lukisan wanita itu menggambarkan figure-figura suci. Dan wanita suci dalam zaman Batu menggambarkan lebih dari sekedar “figure-figur kesuburan” yang dipuja oleh pria prasejarah. Sjoo dan Mor memperlihatkan bahwa kekuasaan dewi Zaman Batu lebih dari sekedar masalah kesuburan, sebagaimana kegiatan kreatif wanita sebelumnya. Tetapi juga merupakan kekuatan inti yang menggerakkan bumi serta alam seluruhnya. Tiga aspek wanita yaitu gadis, ibu, dan teman, menurut pandangan wanita Zaman Batu, merupakan perwujudan dari tiga wajah bulan. Yaitu Bulan, Sang Dewi Agung, adalah pencipta, pemilihara, dan perusak kehidupan.

Karena wanita dianggap sebagai penjelmaan Dewi Bumi, maka wajarlah bila ada sejumlah wanita yang menjadi penghubung penting antara masyarakan dan dewi mereka. Mereka inilah yang disebut dengan pendeta dukun. Dengan upacara suci dan menari sampai hilang kesadaran, sang pendeta dukun menyalurkan energi kreatif sang dewi ke dunia materi, ‘Kominikato’ awal dengan dewi adalah wanita yang terbius…..para dukun dan peramal. Dalam keadaan setengah sadar, mereka bertugas membuka saluran antara individu, kelompok dan sumber kosmisi, tulis Sjoo dalam ‘the Great Cosmic Mother’.

Dari posisi dominan wanita, tidak bisa dibantah bila mereka mampu mengendalikan seksualitas mereka sendiri. Tongkat-tongkat alat hitung dari Zaman Batu Paleokithic, kalender bulan, menunjukkan bahwa wanita masa itu mengendalikan kesuburan mereka melalui ritme haid. Karena pria tidak tahu peran mereka dalam menghasilkan keturunan, maka merekapun tidak mengenal peran kebapakan (dalam hal ini berarti kepemilikan pria atas anak), yang merupakan cirri dari masa selanjutnya, kebudayaan patriarkat. Inti dari unit masyarakat adalah wanita, berpusat pada para ibu dan anak-anak mereka.

Dalam masyarakat pra sejarah itu, kata Sjoo dan Mor, kebudayaan, agama, dan seksualitas saling menyatu, sebagaimana sesemua itu memancar dari satu sumber yaitu sang dewi. Sex digambarkan sebagai sesuatu yang suci, dan sang pendeta dukun memimpin kelompok-kelompok ritual sex yang diikuti oleh masyarakat, menyatu dalam kegembiraan bersama kekuatan hidup. Efek matriarkat ini masih bisa terasa pada abad XV-an di daerah Jawa, dimana pada masa itu perempuan mendominasi permasalahan seksualitas. Tidak ada lagi kata perawan (virgin) bagi wanita, yang mempengaruhi pria dalam pertimbangan pernikahan. Justru yang menjadi ukura pada waktu itu adalah, apakah sang pria mampu memuaskan sang wanita dalam berhubungan seks. Menurut Denise Lombart, hal ini bisa dibuktikan adanya replica kelamin pria dengan alat bentuk (Kondom) yang dibentuk untuk kepuasan sang wanita.

AWAL DOMINASI PRIA

Dengan terbentuknya masyarakat pertanian pertama pada tahun 1000 SM, di mana pola tempat tinggal manusia menetap, agama dewi ditemukan para ahli arkeologi, didirikan masyarakat matriarkat di tempat-tempat seperti Catal Huyuk (6500 SM) yang kini masuk wilayah Turki. Kota-kota tersebut disusun dengan kuil terletak di pusat. Di kuil itu para wanita pendeta tinggal dan bekerja, memiliki kawasan dan memerintah atas nama masyarakat. Di situ pula mereka melanjutkan praktek agama lama mereka, dengan ritual-ritual seksual yang merupakan sarana untuk berhubungana dengan sang dewi penguasa. Namun, kebudayaan-kebudayaan dewi cinta itu tidak bisa terus bertahan. Di sekitar tahun 3000 SM, suku-suku yang gemar perang, kaum Nomad yang didominasi pria, mulai menaklukan dominasi kaum wanita di bawah kekuasaan pria. Peradaban-peradaban awal dalam era sejarah, pada masa peristiwa-peristiwa sejarah ditulis, berevolusi di Mesopotamia (kini hampir seluruhnya wilayah-wilayah Irak) dan Mesir, menguatkan terjadinya perubahan besar. Disini masyarakat terbentuk ‘cangkokan’ antara matriarkat dan patriarkat, dengan kekuasaan yang akhirnya condong kepihak pria. Pengendalian terhadap wanita oleh priapun akhirnya dimulai, yaitu dengan dimulainya system perkawinan yang tidak diragukan lagi akhirnya bertujuan menguasai keturunan dibawah pengaruk kaum bapak. Garis pewarisan kekayaan dari ayah kepada anak laki-laki membentuk basis ekonomi dari kekuasaan pria, sebagaimana kepemilikan tanah menjadi basis ekonomi wanita. Waniya yang menikah perannya hanya lebih sedikit dari sekedar perantara bagi satu generasi pria ke generasi berikutnya.

Pelacuran suci itu sebenarnya adalah tradisi ritual seksual yang berlangsung pada zaman Batu, menjadi bagian yang padu dari pemujaan keagamaan dalam kebudayaan-kebudayaan dunia pada masa awal. Namun tradisi tersebut tentu saja tidak berlangsung tanpa perubahan. Kota-kota besar seperti Mesopotamia dan Mesir masih berpusat pada kuil-kuil, tapi suatu pergulatan berlangsung di dalamnya. Pri yang jadi para penguasa baru tahu bahwa merintangi pengaruh agama Dewi adalah masalah penting. Karena itulah mereka mengadakan pendeta-pendeta pria untuk mempromosikan Dewa-dewa sekutu meraka, untuk mengendalikan dan meng eksploitasi kuil kaum wanita. Namun menggulingkan sang dewi bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan waktu ribuaan tahun untuk mencabut kepercayaan rakyat. Dikuil-kuil, mereka masih menyatakan kesetiaan kepada sang dewi dengan mengadakan ritual-ritual seksual kuno. Bahkan kesetiaan itu masih berlanjut meski pengaruh para wanita pendeta digerogoti secara perlahan-lahan atau dirampas scara kasar. Disinilah kisah pelacuran bermula. Dengan munculnya wanita pendeta kuil yang merupakan wanita suci dan sekaligus pelacur, itulah pelacur pertama didunia.

Sang Dewi agung, yang pertama dikenalkan sebagai inanna,dan kemudian disebut ishtar, menebar pengaruhnya diseluruh tempat kelahiran dan pertumbuhan peradaban kuno diTimur Tengah, mulai dari awal masa sejarah, sekitar 3000 tahun SM. Dimanapun ia dipuja,pelacuran suci merupakan kegiatan inti dari kegiatan ritual. Dengan Ishtar sendiri yang dikenal sebagai pelacur, dan dengan pendeta-pelacur menjajakan kaki mereka di kuil-kuil yang masih merupakan pusat keagamaan, maka para pelucur menempati pusisi tinggi secara ekonomi dan politik di Mesopatamia. Salah satu di antara syair pertama di dunia yang bisa di temukan, Syair Gilgamesh, ditulis di Sumeria (Mesopotamia selatan) sekitar 2000 tahun SM, diperkirakan bersumber dari tradisi lisan yang lebih tua. Syair ini memperlihatkan Bagaimana pelacur itu sangat jauh dari di hinakan dari masa sekarang. Dalam syair itu dilukiskan seorang pelacur yang sangat menentukan, dan ia tidak hanya diakui sebagai wanita suci, tapi pekerjaannyapun dianggap mendidik.

Pria liar bernama Enkidu yang tinggal dihutan bersama hewan, diciptakan untuk berhadapan dengan Gilgamesh yang sombong. Seorang pemburu menemukannya, dan untuk membantunya keluar dari hutan pemburu mengutus seorang pelacur dari kuil cinta: Dia (seorang pelacur) bukan seorang pemalu, sehingga diapun melayani gairahnya (Enkidu). Dia membuka pakaiannya dan Enkidu mencumbunya. Dia melayani lelaki liar itu, menjalankan tugas wanita, dan Enkudupun jatuh cinta kepadanya. Syair itu menceritakan bahwa Enkidu tidur bersama sang pelacur selama tujuh malam. Selama itu pula sang pelacur menaburi Enkidu dengan berkah sang Dewi: ‘suatu gabungan antara cinta ibu, kelembutan, hiburan, penerangan batin, dan seks’, tulis Barbara G.Walker The woman’s Encyclopedia of Myth and Secret, San Francisco 1983. Selanjutnya Enkidu tidak lagi menjadi manusia-hewani: ‘ia kini memiliki kebijaksanaan, pemahaman yang lebih luas’. Sang pelacur telah berhasil mendidiknya sehingga dia tidak lagi kembali pada kehidupan masa lalunya ditengah hewan-hewan. ‘simpati sang pelacur’ membawanya keluar dari hutan seperti ‘seorang ibu’ yang membimbing anaknya untuk menempuh hidup baru yang manusiawi di kota. Kisah tersebut merupakan cara sang dewi membimbing manusia keluar dari kerajaan hewan dengan memberinya anugerah kebudayaan. Sang dewi, inanna, yang disebut lebih awal dalam kisah ini, adalah dewi musik, tari, hubungan manusia, dan pengobatan. Ini diwariskan kepada masyarakat-masyarakat yang berintikan kaum hawa, khususnya kepada wanita yang berperan sebagai pendeta-pelacur. Yang menjadi inti dari budaya cinta, kesenangan, dan pengatahuan ini adalah ‘ penjamuan’ seksual-spiritual yang dialami oleh Enkidu dan dipraktekkan banyak orang (dari masa pra sejarah) sampai memasuki sejarah. Seiring dengan beralihnya kekuasaan dari wanita kepada pria, masyarakat tumbuh kian berciri patriarkat, dengan disertai jurang pemisah yang lebar antara ‘kaum bangsawan’ (high-born) dan ‘rakyat jelata’ (low-born). Pemisahan antara keduanya mencerminkan dalam dunia suci kuil wanita, yang melalui kompromi dengan rezim baru patriarkat, eselon kelas tinggi pelacur dikembangkan dan diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan dan hak istemewa masa lalu. Berbagai kelas pendeta-pelacur ini didokomentasikan dengan baik oleh orang Babylonia kuno (2400 tahunSM), yang merekam bahwa wanita pendeta dewi Ishtar kelas tertinggi, yang disebut Entu, dianggap mempunyai derajat yang sama dengan pera pendeta tinggi kaum pria. Entu memakai pakaian berbeda: topi dengan bagian tepi di tinggikan, baju yang dihiasi lipatan, perhiasan dan sebatang tongkat, suatu lencana dan pekaian yang sama dipakai penguasa. Mereka tinggal ditempat pemujaan suci, mengurus menejemen dan segalanya di dalam kuil, juga menyelenggarakan fungsi-fungsi ritual dan sereminial.

Para pendeta Entu itulah yang menyelenggarakan upacara ‘pernikahan suci’ bersama para raja dan pria pendeta. Para sejarahwan percaya BAHWA upacara tersebut dilakukan sejak 6500 tahun SM, pada saat pria dan wanita hidup harmonis. Upacara pernikahan suci ini dimaksudkan untuk mengungkapkan harmoni tersebut dalam bentuk ritus, sebagaimana setiap tahun sang dewi dan putranya/ pacarnya merayakan persatuan seksualdan ritual mereka. Tetapi pada awal zaman patriarkat, makna asal dari upacara itu telah hilang. Dinegara kota seperti Sumeria, perkawinan suci itu berubah menjadi upacara kenegaraan, suatu dramatisasi dari hak sang raja untuk menguasai rakyatnya. Sebuah catatan orang Sumeria (2800 tahunSM) menggambarkan seorang pendeta wanita dihiasi dengan buah kurma yang baru dipetik (sebagai lambing kekayaan dan kemakmuran) dalam persiapan ‘pernikahannya’. Ia menuggu sang ‘ suami’ –sang raja- didepan pintu Giparu (kamar di ruang tengah kuil), yang didalamnya terdapat tempat tidur pengantin yang disiapkan oleh para wanita pendeta lain. Ia menyambutsang raja didepan pintu tersebut, lau menggandengnya ketempat tidur pengantin.

Hierarki pelacur kuil di Babylonia, mencerminkan fungsi dan spesialisasi yang luas dan beragam, yang tentu tidak seluruhnya tidak terlihat dari bukti- bukti yang ditemukan. Entu dan naditu jelas merupakan wanita pendeta kelas tinggi. Dibawah mereka adalah Qadishtu (secara hasrfiah berarti ‘maha suci’) dan Ishtaritu, yang hidup dan kerja mereka dipersembahkan kepada Dewi Isthar. Wanita-wanita ini, banyak yang mempunyai spesialisasi sebagai penyanyi, musisi dan penari. Selain mereka, adapula kelas wanita yang disebut Harimtu, yang digambarkan sejumlah ahlisejarah sebagai pelacur semi-sekuler, yang mungkin berarti bahwa mereka selain bekerj di kuil juga bekerja di jalanan.

Banyak diantara mereka, jelas banyak berstatus budak, mungkin berasal dari tawanan perang. Bagi para pria dari kalangan umum, mereka masih di anggap sebagai wakil dewi , namum tidak seperti wanita-wanita yang berkelas lebih tinggi, mereka harus tunduk kepada para pejabat dan pendeta kuil. Namun, sama seperti para pelacur suci umumnya, Harimtu ini juga memperkarya kuil dengan persembahan berupa makanan anggur, minyak, dan barang-barang yang berharga dipersembahkan di kaki sebelum melakukan ritual seksual.

Harimtu yang bekerja di luar kuil adalah streat-walker (pelacur jalanan) adalah yang pertama dalam sejarah yang beroperasi secara bebas demi tujuan komersial.meskipun demikian, hubungan antara sex dan agama tetap dipertahankan, karena para pelacur jalanan itu masih dianggap sebagai wanita suci, yang dilindungi Ishtar, dan bayaran yang diterima adalah persembahan dari sang Dewi. Dalam suatu naskah dicantumkan bahwa sang Dewi pernah mengatan “ diantara para pemilik kedai itu sendiri, banyak yang melakukakan upacara khusus untuk memintah berkah Ishtar agar usaha mereka sukses”.

Di Mesir kuno pun, derajat para wanita-pendeta kuil diturunkan dari tahta kekuasaan mereka, dan kemudian hanya berperan sebagai penari dan musisi semi-sekuler. Ketika para pengusaha dan pria pendeta menghimpun kekuatan mereka, banyak wanita kuil di usir, lalu mereka membentuk ‘rombongan sandiwara’ (troupe) beranggota penyanyi-penari-pelacur. Mereka berkeliling mendatangi tempat-tempat festival religius dan umum, untuk menyelenggarakan hiburan dan ritual seksual yang bagian dari setiap perayaan. Bahkan hingga dewasa ini, di Hulu Nil (di daerah Mesir), ada suku pengembara yang terdiri dari para wanita, yang menggambungkan keahlian tradisional kuno sebagai penghibur dan pelacur. Mereka itu dikenal sebagai ‘Ghawaze’. Orang Mesir menggap tarian mereka sebagai contoh terbaik dari tarian arab asli. Boleh jadi mereka adalah keturunan langsung dari para wanita pendeta yang di usir dari kuil-kuil Mesir kuno.

Sebagaimana halnya propesi pelacur, pembagian wanita menjadi Istri dan pelacur juga sama tuanya dengan sejarah patriarkat. Di Sumeria kuno, sekitar tahun 2000 SM, hukum pemisahan status itu pertama kali di berlakukan. Undang-undang Lipt Ishtar menyatakan bahwa “ Bila Istri seorang wanita yang tidakmelahirkan anak untuknya, sebaliknya pelacur jalanan justru melahirkan anak untuknya, maka ia (pria) layak memberika anggur, minyak, pakain, dan anak-anak yang telah dilahirkan pelacur itu menjadi ahli warisnya, tapi sela Istrinya masih hidup, pelacur itu tidak boleh tinggal di rumah berma sang Istri”.

Pelacur yang melahirka anak untuk pria, mendapatkan penghargaan dari patriarkat, meskipun ia harus di jauhkan dari Istri yang resmi. Namun, bila pelacur sendiri yang memutuskan untuk menikah, maka kebiasaan bebas mereka menimbulkan persoalan bagi pihak suami. Dalam naskah Sumeria lainnya diceritakan tentang seorang ayah yang menasehati putranya agar tidak menikahi pelacur kuil atau menjadikan mereka sebagi gundik di rumah, sebab terbiasa menerima laki-laki lain, ia menjadi Istri yang tidak simpatik dan sulit di atur. Pada saat itu juga, jurang pemisah antara Istri yang baik, jinak dan patuh dengan wanita nakal, dan di sisi lainnya sang pelacur-bebas mulai melebar.

Ketika lembaga-lembaga politik dan religius pria mulai tumbuh, bentuk pernikahan patriarkat (suami menjadi pemilik Istri dan anak-anaknya) menyebabkan jurang pemisah antara Istri dan pelacur semakin melebar. Bersamaan dengan itu hukum yang melingkupi pelacur dan pekerjaan mereka pun menjadi menindas.

Pada tahun 1100 SM, bangsa Assyria menetapkan peraturan hukum pertama tentang pakaian untuk melacur: mereka di haruskan memakai jaket kulit khusus (untuk menarik perhatian) dan sama sekali tidak boleh memakai kerudung, yang merupakan tanda penyerahan diri sang Istri kepada suaminya. Pelacur yang melanggar peraturan ini mendapatkan hukuman 50 kali cambukan, dan kepalnya diguyur dengan cairan Ter. Sementara wanita yang di jinakkan secara seksual di daftar, dan karena itu perlu di kontrol dengan keterikatan pada seorang pria sementra para pria tidak demikian, mereka tidak mahu melepaskan kebebasan. Karena itu, standar ganda. Dalam artiaan tidak puas dengan hanya memiliki beberapa Istri dan gundik, pria masih mencari kesenangan seksual dengan para pelacur saja kapan saja mereka merasa bosan dengan ikatan. Para pelacur juga mempertahankan otonomi seksual dan ekonomi mereka, dan menentang ‘penjinakan’ (dengan tinggal dirumah sebagai Istri), tapi mereka harus menghadapi hukum-hukum yang makin lama makin keras terhadap mereka. Pemberontakan mereka jelas merupakan ancaman bagi kekuasaan kaum pria. Namun sepanjang sejah Mesopotamia dan Mesir, seks tetap dianggap masyarakat luas sebagai sesuatu yang sacral, Kecuali hukum-hukum tersebut. Tak ada suatu peraturan moral yang paling puritan sekalipun yang mencela kaum wanita yang menghidupi diri dengan menjual seks. Bila kalangan pria elit yang bertekad menundukkan kekuasaan pelacur, mereka harus menemukan system moral yang bersifat menindas wanita. Dalam artiaan mampu menjatuhklan derajat pelacur ketingkat yang terendah dalam kelas masyarakat. Pada taraf inilah, kita menemukan tradisi yang lebih akrab: perjanjian lama, yang menggambarkan pelacur sebagai:

Lantang dan keras keras kepala perempuan ini; kakinya melarangnya tinggal di rumah; sebentar-sebentar ia keluar, sebentar-sebentar ia pergi ke jalan, dan setiap sudut ia menghadang (Amsal 7:11-12).

Itu ditulis oleh para pendeta Lewi yang gemar perang, para pemimpin suku-suku Hebrew (Yahudi), yang pada sekitar 1300-1250 SM menyerang dan menjajah negeri. Kan’an yang subur, yang masyarakatnya memuja sang dewi. Dalam pandangan kepala suku yanh merampak sebagai pemimpin militer dan agama ini, yang memuja Tuhan-Bapak yang keras bernama Yah-weh atau yekovah, pelacuran yang khususnya berhubungan dengan agama adalah sesuatu yang terkutuk. Tak ada lagi kompromi bagi bagi pemujaan dewi, tak akan ada pernikahan suci antara para penguasa mereka dengan para pendeta pelacur, karensa para pendeta-pelacur itu adalah penganut patriarkat yang fanatik, yang menganggap wanita tidak mempunyai otoritas apapun.

Taktik yang mereka gunakan untuk menindas agama-dewi itu bersifat mutlak dan hanya punya satu arti; pemberantasan besar-besaran diiringi dengan cecaran propaganda yang terus menerus dilakukan. Namun, bukan berarti bahwapekerjaan itu dapat mereka lakukan dengan mudah, karena rakyat mereka sendiri memuja sang dewi dan memamerkan kecendrungan yang memalukan untuk mengerjakan kembali kebiasaan lama yang tercela itu, karena berorientasi pada kesenangan. Para pendeta dewi itu harus melancarkan perang tanpa henti untuk menanamkan keyakinan akan Tuhan-Bapak yang keras dan tak kenal toleransi dalam jiwa rakyat mereka.

Panjangnya proses yang harus ditempuh para rasul Perjanjian Lama untuk menghindarkan pelacur, menjadi saksi betapa sulitnya mereka mengendalikan kehidupan seksual rakyat. Pelacuran, baik yang religius maupun sekuler, tumbuh subuar di Kanaan purba. Pelacur nyaris bisa ditemukan di segala pelosok, berkeliaran di jalan kota sambil nyanyi dan memetik harpa, duduk di setiap tikungan penting, menunggu di depan pintu rumah meraka, menggoda setiap orang yang lewat, atau bahkan berparade mengenakan busana aneka pakaian menyala ber keliling kota. Rumah rumah pelacuran merupaka bangunan penting dikota, yang menarik perhatian baik penonton maupun pelanggan, (Vern L. bullough dan Bonnie dalam history of Prostitution, New York 1968). Bahkan sejarahwan masa Victoria, Dr. William sanger melaporkan bahwa para pelacur berkembang biak sangat cepat, sehingga para rasul yang inga\in menasihati mereka harus menjajaki setiap bukit. Mereka ditemukan disetiap pohon dan bahkan mereka menyerbu kuil untuk melakukan ritus- ritus ter selubung (William sanger dalam A history of prostitution, New York 1859).

Para pendeta Hebrew itu selalu menyebut “ritus-ritus rahasia’ dalam rangka pemujaan dewi sebagai ‘pelacuran’ dengan nada merendahkan, seperti yang kita temukan dalam ‘pelacuran dari babilon’. Rosul bernama Ezekiel menegur dua bangsa Hebrew dan menyamakan mereka dengan dua wanita bersaudara yang telah mempelajari ‘ pelacuran’ –kebebasan- di Mesir, tempat wanita menduduki posisi yang relatif berpengaruh. Para yang merangkap pemimpin itu tidak bisa menggabungkan trdisi kebebasn wanita dengan rencana- rencana mereka untuk memenjarakan wanita dalam perkawinan, yang dengan sendirinya menempatkan posisi pria sebagai tuan.

Menurut sejarawn feminis, Merlin Stone, ‘ Pra rasul dan Pendeta Hebrew menulis penghinaan secara terang terangan terhadap wanita yang masih gadis maupun yang sudah menikah. Mereka menegaskan bahwa semua wanita harus diumumkan sebagai harta milik seorang pria, baik ayahnya maupun suaminya. Dengan demikian, mereka mengembangkan dan melembagakan konsep moralitas seksual- bagi wanita’(Merlin Stone: The Paradise Papers,London 1976). Dengan kata lain, agar penyarahan diri pada seorang pria menjadi suatu yang menarik, para pendeta itu menciptakan suatu kebebasan behwa kebebasan seksual wanita adalah biang segala keburukan, dan mereka menyabut para pelacur sebagai cotoh hidup dari keburukan itu.

Ritus-ritus seksual untuk memuja sang dewi dianggap sebagai ‘dosa’ paling berbahaya, sedangkan para pendeta yang menyelenggarakannya adalah para’pendosa’ yang terkutuk. Doktrin baru ini yang telah menjadi bagian dari iman agama Yahudi, muncul untuk meliputi semua kekuatan ‘ buruk’ wanita, yang oleh para pendeta itu diberi lebel’ pelacuran. Semua wanita mendapati dirinya dihinakan , sebagai korban kekuasan yang menteror moral, bila ia berani memiliki pacar, mengenakan pakaian yang disukainya, memuja sang dewi, atau mendapatkan penghasilan sendiri tanpa bantuan pria atau gagasan ‘moralitas’ mereka.

Sepanjang sejarahnya tdak diragukan, para pelacur selalu dihina karena profesi mereka. Mereka terus berpegang teguh pada tradisi pemujaan dewi, dan dengan sengit terus memperjuangkan keinginan mereka untuk bebas dari’pria’ dengan memilih pelacuran sebagai karir memreka. Dan mereka tidak pernah mengalami kekurangan pelanggan, karena pria tidak –selamanya- tidak mempunyai keinginan mengikat diri dengan perkawinan, sebagai mana nasehat para pendeta. Para pelacur memang keras kepaladan pemberontak seperti yang diungkapkan parRasul Perjanjian Lama, sebagai kebalikan istri yahudi yang patuh.

TRAGEDI YUNANI

Yunani kuno adalah suatu masyarakat patriarkat, kelas yang di dominasi pria. Yunani dalam era klasik, inilah bangsa barat memandang dengan kekaguman dan memandangnya sebagai nenek moyang mereka, bukan Sumeria atau kekuasaan Akkaida maupun Assyria. Tradis barat dari generasi ke generasi yang oleh para intelektualnya menggambarkan Athena (ibu kota Yunani) sebagai suatu yang istimewa. Dan bila wanita barat melihat periode tersebut dengan sudut pandang mereka (pria), maka mudah untuk melihat mengapa para akademisi bisa segairah anak sekolah dalam menulis hal tersebut. Soalnya Athena bukan hanya mengembangkan dua lembaga yang menarik pemikiran barat-demokrasi dan filsafat rasionalistisnya, tapi Athena juga sebagai surga sensual, suatu pemandangan yang oleh sejarawan di gambarkan sebagi ‘perkembangan seksualitas manusia yang luar biasa, yang tidak pernah di jumpai di Eropa, juga tidak pernah di temukan di tempat lain’.

Mereka menyebut Athena sebagai tempat piknik dan bersenang-senang. para pria kaya Ynani bebas memasuki tempat-tempat pelayanan seksual yang fenomenal, dengan sangat terang-terang tanpa takut malu atau citra buruk dalam masyarakat. Di Athena banyak kuil-kuil pelacuran (pelacur kelas tinggi), para penari-pelacur, pelacur jalanan, rubah pelacuran para budak. Masa itu memang merupakan zaman keemasan seks. Sebaliknya bagi pera wanita Athena pada masa itu, ceritanya lain lagi. Mereka adalah para pelayan, penyedia, dan para pekerja di masa jaya (perkembangan seksualitas manusia) ini.

Sejarah seperti biasa, mengabaikan atau menganggap sepi peran wanita dalam masyarakat Yunani. Tapi bila kita melihat Yunani kuno dari sudut pandang wanita, muncullah suatu gambaran yang berbeda, mulai dari penindasan terhadap hak-hak wanita, yang telah dilakukan sejak munculnya masyarakat-masyarakat pertama.

Mitologi Yunani merekam perjuangan ini dalam dongeng-dongeng dan legenda-legenda yang mencerminkan bahwa seluruh masyarakat purba, penduduk awal yunani, adalah para pemuja dewi. Sejak sekitar 2000 tahun SM, gelombang penyerbu melanda negeri itu, sambil membawa para dewa mereka. Yang terjadi selanjutnya adalah, pengulangan dari pola-pola budaya terdahulu; dua kebudayaan melebur dalam suatu masa, akhirnya melahirkan cangkokan yang diwariskan kepada kita dalam bentuk mitologi dan agama Yunani. Seperti kisah tentang bapak para dewa, Zeus, yang menikahi Hera, seorang dewi berpengaruh yang masih tersisa dari “agama” (cult) terdahulu. Dalam mitologi gabungan itu, keduanya saling baku hantam. Namun, disamping perkawinan dwea dengan dewi yang tidak harmonis itu, zeus tidak mampu memerintah sendirian dengan kemampuannya sendiri, sama dengan raja Mesopotamia dan dewa-dewa sebelumnya, kekuasaannya bersumber dari suatu perkawinansuci dengan seorang dewi.

Namun, pada “zaman keemasan” Athena tersebut, kenyataan hidup tidak lagi mencerminkan konsep keagamaan, dan kaum pria yunani telah berkembang jauh dari kemelut pembagiam kekuasaan antara dewa dan dewi. Wanita benar-benar dalam genggaman kekuasaan pria, setidaknya di dalam rumah. Konsep demokrasi yang sering digembar-gemborkan tidak menjadi kenyataan. Hanya pemilik kekayaan yang punya hak untuk bersuara, dan hanya pria yang berhak memiliki kekayaan. Penyingkiran wanita dalam perannya dalam masyarakat ini terjadi karena usaha sederet para dictator, tapi hanya satu pria yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, yaitu “sang bijak Solon”, yang menguasai Athena pada masa peralihan abad ke 6 SM, yaitu tepat menjelang Athena mencapai puncak kejayaan.

Solon meraih kejayaan dengan menunggangi petani kelas menengah dan para saudagar untuk mengatur siasat untuk berbagi kekuasaan dengan para bangsawan lama. Dengan demikian tidak ada jalan lain baginya untuk memperkuat posisinya selain dengan menjamin kelanggengan sukses bagi kelas masyarakat yang baru terbentuk itu. Strateginya yang terpenting adalah pengaturan struktur keluarga mereka. Dengan terbagi- bagi menjadi kelompok keluarga kecil, kaum pria dan kelas menengah tersebut lantas menjadi bersaing keras satu sama lain dalam perebutan kekayaan. Bila dikalangan bangsawan harta diwariskan kepada anak-anak dari para istri resmi maupun para gundik, dalm lingkungan kelas menengh yersebut hanya satu wanita –istri- yang berhak mengajukan satu ahli waris yang syah.

Solon kemudian membuat suatu peraturan yang berjangkauan luas, yang dirancang untuk mengatur semua wanita dalam masyarakat Athena, sambil meneruskan tradisi patriarkat dalam membagi wanita menjadi ‘yang baik’ dan ‘yang nakal’. Dengan demikian. Kehidupan wanita kelompok yang pertama menjadi semakin terbatasi. Wanita ‘ baik-baik’, khususnya para gadis, harus dikawal, sedangkan yang sudah menikah menjadi pengurus rumah dan tidak boleh bergaul.

Alhasil, warga Athena yang terdiri dari para istri dan calon istri ‘yang terhormat’ , hidup yang hanya bisa digambarkan sebagai tahanan rumah. Mereka hanya diperbolehkan keluar bila ada perayaan atau acara keagamaan atau pertunjukan teater, itupun dengan syarat mereka tetap berlaku ‘sopan’. Merka bahkan dilarang pergi kepasar. Belanja dilakukan pria atau budak yang bekerja dirumah. Mereka tinggal dirumah yang keadaannya cukup seram, karena bagian rumah orang Athena gelap, suram dan kotor dan wanita hanya boleh tinggal diruangan mereka yang jauh tersembunyi didalam, agar tidak terlihat orang asing.

Bila pria membawa tamu kerumah, istrinya tidak boleh menemui mereka, tidak boleh terlihat dan terdengar suranya. Seandainyapun ia diizinkan untuk bergaul dengan pria sekelasnya yang berpendidikan, mereka tidak akan menjadi lawan bicara yang seimbang. Soalnya, mereka hanya diberi pendidikan memasak, menjahit dan ‘memelihara rumah’. Mereka tidak boleh diberakan pendidikan intelektual, karena itu merupakan cirri pelacur.

Dengan demikian wanita tidak memeiliki kekuatan ekonomi dan hukum. Sepanjang hidupnya, wanita ‘terhormat’ ditempatkan di bawah ‘pengawalan para pria’ mulai dari ayahnya, kemudian suaminya. Bila suaminya mati lebih dulu, putra sulungnya yang bertanggung jawab atas dirinya. Mereka tidak boleh memiliki kekayaan, tidak ada hak menerima warisan. Hidupnya benar-benar dikerdilkan, suatu kehidupan yang penuh kekecewaan, kepatuhan dan kesepian. Kisah para istri ‘baik’ warga Athena benar-benar merupakan tragedy Yunani.

Solon membagi wanita menjadi dua jenis: istri dan pelacur. Semua wanita yang berusaha hidup bebas dari pria, semua wanita miskin, orang miskin, orang asing dan para budak yang kerja diluar rumah, disebut Solon pelacur. Dalam banyak kasus. sebutan itu memang jitu, karena wanita yang tidak bisa menjadi istri yang patuh hanya punya sedikit pilihan disamping menjadi pelacur, hanya untuk asal hidup.

Pelacuran mulai tumbuh subur. Tapi Solon yang melihat peluang keuntungan malh mengurus sendiri bisnis pelacur, sehinggga akhirnya rumah-rumah pelcuran negara bertebaran diseluruh Athena. Usaha ini terbukti sangat sukses, sehingga Solon mempunyai kekayaan yang lebih dari cukupuntuk membiayai angkatan perang maha besar.

Konon pelabuhan Pirauspun dibangun dengan keuntungan perdagangan seks yang besar-besaran itu. Sebagai tanda ‘ terima kasih’, Solon membangun kuil yang sangat besar untuk memuja Aphrodite, sang dewi cinta yunani. Kota-kota lainnya misalnya Corinth, yang termashur karena rumah-rumah bordirnya yang mewah, juga dengan cepat mengikuti jejak Solon.

Athena memang surga bagi para pelanggan. Tapi bagi para budak yang bekerja dirumah-rumah pelacuran tersebut, yang biasa disebut diekteriades, kehidupan hampir tiada daya tarik. Kebanyakan mereka adalah para tawanan perang berasal dari Asia, kemudian ditambah dengan para wanita yang dibeli para pegawai negara di pasar budak. Mareka tinggal dikamar-kamar yang mirip dengan sel penjara. Sama seperti istri yang patuh, mereka juga tidak mempunya kekuasaan atasdiri mereka sendiri. Para pelanggan tidak membayar langsung kepada mereka, tapi kepada pronobosceion, seorang pejabat pria yang mengelola rumah-rumah bordil sebagai perusahaan setengah swasta dan setengah milik negara. Para pelacur kemudian berusaha mengemis persenan pada para pelanggan, tapi itupun masih dikenai pajak oleh Solon yang pintar dan rakus.

Menyebut para wanita itu sebagai pekerja rumah bordil, tidaklah tepat. Mereka adalah para budak seks. Mereka adalah sisi lain dari mata uang perkawinan, karena seperti para istri, mereka pun menjadi korban dari jebakan Solon. Bila seorang istri menjadi seorang pria, para pelacur adalah milik umum. Siapakah yang lebih malang dari mereka?. Mereka bisa membeli kebebasan, namun keluar dari rumah bordil bagi mereka bukan main sulitnya. Untuk pertama kali dalam sejarah, wanita dikuasai germo resmi. Para menejer rumahbordil, petugas pajak dan akhirnya dipucuk pemerintahan Solon yang ‘bijaj’, mengaruk keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Germo negara dan swasta lahir berbarengan.

LATIN, KETURUNAN PELACUR?

Perubahan klasik beasar kedua yang disukai para sarjana barat adalah Roma, yang oleh penulis Reay Tannahill disebut sebagai ‘bangunanyang sangat agung dan logis yang pernah diciptakan manusia’. Malai kota yang kecil pada abad ka-8 SM sampai manjadi kerajaan raksasa di abad ke-5 M, masyarakat dan kebudayaan bangsa romawi mempesona para penulis dan ilmuan yang mempelajari sejarah. Namun dibalik keagungan yang mereka kagumi itu, praktek- praktek sksual yang semena-mena terjadi, karena masyarakat bertindak semau gue.

Sebutan buruk itu saja tidak cukup, karena mencemoohkan setiap konsep moral atau adat seksual, dan menyimpang dari setiap norma yang pernah ada. Kebebasan untuk memiliki manusia (budak) dalam jumlah yang banyak membuat penguasa berbuat seliar-liarnya. Hal ini terjadi karena besarnya gelombang urban yang memasuki kota tersebut, sehungga jumlah penduduk waktu itu mencapai 2 ½ juta. Ini juga merangsang pertumbuhan pelacur dalam skala besar. Manusia murah, seks lebih murah lagi dan para bangsawan Romawi bertekad menikmati kedua ‘komoditi’ ini secara terang-terangan.

Penduduk romawi pada mulanya adalah petani, yang mengelompok dalam klan-klan. Sebutan bagi mereka semua: orang Latin, diambil dari ratu legendaries bangsa tersebut, Latia, menandakan bahwa klan-klan mereka adalah matriarkat. Menurut legenda negri romawi adalah warisan dari ibu klan bernama Acca Larentia. Yang menarik, Larentia ini digambarkan sebagai ‘pelacur yang terhormat’, yang memberi isyarat tentang adanya agama-dewidalam masyarakat pra sejarah Romawi. Ada kemungkinan, Larentia sang ibu-marga dan pemilik tanah, adalah pendeta tinggi dari agama tersegut. Dalam Romawi pra sejarah, seperti dalam kebudayaan-kebudayaan Laut Tengah lainnya, kekayaan dan kekuasaan beredar di tangan wanita. Para raja diberi hak memerintah melalui prkawinan dengan para wanita yang mewarisi tanah dan tahta. Di sini pula, pria berhasil menguasai wanita dengan mengambil alih kekuasaan dan melembagakan perkawinan patriarkat. Namun khusus Romawi, Rvolusi tersebut berlangsung keras dan mendadak. Selajutnya para penguasa pria memperkenalkan pula hukum-hukum patriarkat yang paling keras dalam sejarah purba. Seperti kaum pria Yunani kuno, para pria Romawi memonopoli kekuasaan pemilikan tanah dan tatanan-tatanan politik yang baru mereka bentuk. Tapi diRomawi, paterfamilias, yang secara harfiah berarti ‘bapak keluarga’’ memegang kekuasaan mutlak atas istri, anak-anak dan budak, sampai-sampai ia dibenarkan hukum untuk membunuh mereka tanpa takut ada campur tangan negara. Dalam masa Romawi kuno banyak contoh mengenai hal ini.

Namun, tidak seperti diYunani, para istri dari kelas berkuasa diRomawi tidak disekap di rumah atau diasingkan dari pergaulan. Mereka boleh keluar rumah dan berkeliaran di keramaian (meski harus dengan izin suami), menonton pertunjukan, mengunjungi kuil, dan lembaga-lembaga hukum. Mereka juga boleh mendapatkan pendidikan, biasanya melalui guru-guru privat dirumah keluarga. Tentu saja mereka lebih beruntung dari wanita-wanita yunani dan -agak ironis itu- terjadi di tengah masyarakat patriarkat. Sementara di Yunani, kelaspedagang berhasil melucuti para bangsawan, diRomawi masyarakat kelas atas ini tak pernah di usik. Karena itulah mereka membuat peraturan-peraturan bagi warga kota dan ini berlangsung sampai abad ke-4 M, sampai munculnya agama Kristen.

Dengan demikian kaum wanita Romawi mempunyai harga diri dan gairah hudup, sampai Kaisar Agustus memperkenalkan hukum yang memaksa wanita kelas atas menikah dan mengurus anak. Banyak diantara mereka yang menyatakan diri sebagai pelacur, demi membebaskan diri dari peraturan itu. Sedang wanita dari kelas rendah terus menentang aturan perkawinan model patriarkatitu, dan terus mampertahankan tradisi seksual warisan nenek moyang. Dalam sexsual life in Ancient Rome (Londan 1934), Otto kiefer menerangkan bahwa:’perkawinan sebagaiikatan persatuan memang tidak dikenal masyarakat awam, karena itulah anak-anak mereka milik ibu keluarga hubungan tanpa pernikahan, masih ada diRomawi pada masa belakangan ini, da menjadi dasar dalam system percintaan bebas yang berkembang luas, yang selanjutnya berubah menjadi pelacuran’.

Kenyataanya adalah lebih dari itu, kebijakan-kebijakan Romawi yang ekspansif menyababkan pekerja seks mengalir tanpa jeda. Penaklukan koloni-koloni baru menghasilkan ribuan tawanan yang kemudian menjadi budak. Perang juga menyababkan para petani kehilangan lahan, lalu mereka lari kekota menjadi buruh. Dalam hal tertentu ‘orang miskin yang bebas ini’ malah lebih menderita dari pada budak, yang mendapat penginapan dan makan karena di anggap sebagai modal oleh tuan mereka.

Bagi mantan petani, hidup di kota sangat sulit. Pengangguran bertambah, banyak dari mereka hanya bisa hidup dari pembagian gandum negara. Dalam keadaan inilah, tidak heran bila banyak diantara mereka yang menjadi pelacur untuk sekedar bertahan hidup. Meski demikian, mayoritas pekerja seks di Romawi bukanlah mereka yang mantan petani itu, tapi para budak (sebagaimana juga para pekerja di kota pada umumnya).

Melalui eksploitasi para budak inilah, yang ukurannya tidak tertandingi kebudayaan manapun, Romawi menjadi kekasiaran yang terbesar dan terkaya dimasa purba, dan para budak itu pula yang menjamin kelangsungan hidup di kota roma selama berabad-abad. Para ahli hukum Romawilah yang pertama menggunakan konsep pemilikan mutlak, dan bila diterpakan pada para budak maka berarti mereka di nyatakan secara hukum sebagai barang. Kekuasaan pemilik budak sama dengan paterfamilias dimsa sebelumnya, dan bila penguasaan budak lebih efektif dari pada penguasaan istri, hal itu semata-mata karena kekaisaran Romawi tergantung padanya.

Di Romawi tidak ada demokrasi seperti di Yunani. Dengan demikian tidak ada pembagian kekuasaan berdasarkan tingkatan kelas. Para kaisar yang memaklumkan diri sebagai dewa, merupakan contoh sempurna dari ekspansi dan pemusatan kekuasan. Mereka menganggap diri sebagai tuhan bagi semua makhluk, dan kekuasaan merekapun digunakan tanpa belas kasihan terhadap para budak yang jumlahnya sangat banyak. Julius Caeser, ‘sang pezina sejati’, biasa di sebut sebagai ‘ sumi dari semua istri pria’. Agustus juga di kenal sebagai pezina. Sampai di usia tuapun teman-temannya di suruh mencarikan wanita-wanita muda, baik perawan maupun istri orang. Tiberiuspun tidak sulit di lukiskan kehebatan birahinya, sehingga bisa dikatakan tak ada wanita cantik yang bisa lolos dari nafsunya.

Pengganti Tiberius, Caligula, termasyur karena kesukaanya menyetubuhi saudara-saudaranya sendiri, bahkan salah seorang di antara mereka dikeluarkan isi perutnua dalam suatu upacara. Ia juga suka menghubur diri dengan memamerkan istrinya, Caesonia, dalam keadaan bugil didepan teman-temannya. Perselingkuhannya dengan aktor pelacur Mnester di ketahui masyarakat luas. Ia juga mendirikan rumah bordil di istsna kerajaan dan di pantai teluk Naples. Kaisar Nero termasyur karena menikahi pria kesayangannya, Sporus. Kaisar Domitian biasa mandi di temani serombongan pelacur, Commodus, yang merubah istananya menjadi rumah bordil, dilayani oleh 300 wanita tercantik di Roma, juga oleh ptia dengan jumlah yang sama. Sama seperti Nero, Commodus juga mencabuli saudara-saudara perempuannya dan mengawini salah seorang pria kesayangannya. Akhirnya, Elagabalus, yang oleh para sejarahwan digambarkan sebagai hewan liar, menurut Sanger dalam A History of Prostitution (New York 1859) membawa kekaisaran Romawi ke puncak ‘ sirkus’ seksualnya. Elagabalus hidup hanya untuk mengumbar nafsu seksnya. Ia adalah teman baik bagi para pelacur yang ada di Roma, wanita maupun pria.

Dalam suasana Romawi seperti itulah wanita pelacur diterima masyarakat secara wajar. Pelacur merupakan profesi yang tidak perlu membuat pelakunya merasa malu.

DARI MASA KE MASA

Kehancuran kekaisaran romawi pada pertengahan abad ke-5 M, sejarah baratmemasuki periode yang kemudian di sebut ‘abad kegelapan’. Jalinan sejarah hampir kenyap dari pandangan. Selama abad ke-5 tersebut, kekaisaran Romawi dilemahkan oleh baku hantam di dalam negeri, krisis ekonomi dan pemberontakan para petani serta budak. Suku-suku Jerman mulai menembusperbatasan Romawi. Ketika para penyarang itu melanda Eropa barat, memasuki Perancis, Inggris, spanyol, itali, bahkan sampai Afrika utara, kekaisaran Romawi guncang dan akhirnya jatuh kedalam kekuasaan jerman. Sitem pemerintahan berubah. Para petani dan budak berpancar membuat kelompok- \kelompok sendiri di desa-desa. Sementara para pelacur sudah mempunyai tradisi yang kuat untuk bertahan ditengah situasi-situasi yang kacau.

Namun, bila para pelacur itu sendiri tidak musnah seiring kehancuran Romawi, tradisi budaya mereka mengalami perubahan. Seni Cinta yang mendidik, memberikan kesenangan dan pengetahuan, mengalami gerhana diabad kegelapan dan lenyap untuk selamanya.

Menjelang kematiannya pada tahun 337, Kaisar Constantine memeluk agama Kristen di pembaringan mautnya. Agama baru ini menjadi agama pejabat negara. Ketika Kekaisaran ambruk, gereja tetap utuh dan tumbuh mengembangkan kekuasaan sendiri. Para pejabat Gereja Kristen menciptakan dogma yang mungkin tak pernah di ucapkan atau ditulis kristus. Sebab, meski Kristus mengutuk perzinaan, nampeknya pelacur dianggab sebagai pendosa kecil (???), yang masih bisa masuk ‘kerajaan langit’. Dan harus diingat pula bahwa Maria Magdalenamemainkan peran penting dalam kehidupan Yesus. Mantan pelacur Gallilea ini menjadi salah satu pengikutnya yang taat. Dialah yang pertama kali menemukan kuburannya yang kosong dan menyaksikan kebangkitannya kembali. Maria Magdalena pula yang menjadi contoh pertama dari ‘pelacur ang bertobat’ dalam agama Kristen. Namun, dengan tidak mengindahkan kenyataan itu, para pejabat gereja di abad ke-8 itu bersikap sangat menindas kaum wanita, apalagi pelacur. Dari kebingungan abad kegelapan, orde baru muncul, yang kemudian dikenal dengan feodalism. Bermula dapi Perancis Utara pada abad ke-10, feodalism dengan cepat menyebar ke Eropa Barat, memasuki Inggris seiring dengan kejatuhan Normandia pada tahun 1066. dari perbenturan budaya Romawi dengan para panglima perang Bar-bar yang menyaebu, muncul suatu kelas penguasa baru, kelas elit yang memperoleh kekayaan melalui penguasaan tanah, dan para petani yang menggarap tanah mereka. Mereka adalah para prajurit professional, yang terus memperluas kekuasaan atas tanah di dalam maupun di luar negeri.

Para petani menjadi budak mereka, kendati secara tehnis tidak disebut demikian. Bila tibamusim perang, para petani itupun direkrut sebagaitentara, begitu perang usai, pengangguran merajalela. Diantara para pengangguran ini kebanyakan wanita: mulai dari para janda, para putri dan para istri. Bagi mereka, jadi pelacur adalah cara untuk mempertahankan diri.

Pada awal abad pertengahan, kalangan Gereja maupun pejabat negara tidak mempunyai niat ataupun kekuasaan untuk menindas pelacur. Kendati garaja menentang keras, orang Eropa bersikap toleran pada perukaku seksual.

Bahkan orang-orang gereja sendiri pada masa itu tidak mmperlihatkan yang baik, karena banyak diantara calon biarawan yang bergaul dengan palacur.

Dengan berakhirnya abad pertengahan, mnculah zaman Renaissance, yang ditandai bangkitnya secara besar-besaran nilai-nilai budaya Yunani dan Romawi. Masyarakat yang muncul adalah masyarakat yang didominasi pria, dan sikap mereka terhadap wanita mewakili orang-orang Yunani kuno. Para istri harus di kurung di rumah , kecuali pada hari-hari besar, mereka diperbolehkan pergi ke gereja bersama suami. Di tengah masyarakat Ranaissance inilah lahir lagi suatu lembaga klasik: pelacuran kelas tinggi.

Para pelacur kelas tinggi Venesia, Florence dan Milan, yang di sebut Cortegiane, adalah wnita berpendidikan, berpengaruh dan berbakat, selain tentu saja cantik. Mareka juga kaya dan merdeka. Dirumah mereka yang bagaikan istana, mereka menerima para tamu yang terdiri dari para seniman, fisuf dan pejabat nagara.

Di Inggris pada pertengahan abad ke-17 , terbuka bagi suatu lokasi baru bagi pelacur. Gedung Teater. Charles II adalah raja Inggris yang melakukan ‘pembaruan’ pada seni teater Inggris, yaitu dengan memperbolehkan wanita memainkan peran pria. Revolusi teater ini mempunyai konsekuensi penting bagi wanita yang bekerja di teater-teater, bik didepan maupun dibelakang layar.

Seperti pada masa sebelum pemerintahan kaum puritan (muncul semasa Ratu Elizabeth, 1533-1603), para pelacur kota mulai berkerumun di teater merupakan tempat hiburan bagi para pejabat, para bangsawan dan sebagainya. Dua jenis pelacur teater muncul hampir bersamaan. Yang pertama adalah para orange-girl, yang berjejer disepanjang auditorium menjual buah-buahan, karcis dan diri mereka sendiri, atau menjadi perantara antara pelanggan dan pelacur. ‘Orange Betty’ Macckerell adalah contoh yang hampir menjadi legendaries dari pelacur yang menyamar sebagai penjual jeruk ini. Ia terkenal karena kekuatan fisik dan ketajaman lidahnya, juga kebingungannya.

Jenis kedua dari pelacur teater adalah pelacur yang benar-benar professional yang bekerja di dalam auditoriu itu sendiri. Mereka biasa dipanggil vizards, seperti topeng yang mereka kenakan. Pada abad ke VIII, di Perancis muncul suatu model rumah bordil. Pendiri pertamanya adalah Mme Gourdan, yang tinggal di deux ports, Paris. Salah satu inovasi yang dilakukannya adalah meletakan rumahnya ditengah seraglio, suatu salon besar tempat para pelacur memamerkan pelayanan mereka dengan memesang foto-foto berfose menantang. Sa nyonya ramah juda menyadiakan daftar pelayanan yang sangat lengkap, termasuk ‘menu, yang paling liar sekalipun.

Bagi mereka yang membutuhkan alat bantuan sebagai perangsang, disediakan gambar-gambar porno dan ‘para budak perangsang’ (stimulating slave). Bagi para veyoer (tukang intip) juga disediakan ruang untuk melihat kegiatan seksual yang dilakukan oleh orang lain. Bagi mereka yang cenderung sado-masochistic (baru merasakan kepuasan seksual bila disakiti), disediakan suatu ruangan yang disebut ‘ruang horor’. Ide Mme gourdon ini banyak ditiru oleh banyak orang.

PENUTUP

Pelacuran saat ini sampai pada status teologi dan sosialnya sampai derajat yang paling rendah. Seksualitas telah kehilangan filosofinya sebagai sebuah inkarnasi antara yin-yang, digantikan dengan luapan kegelisahan dan kejenuhan emosi terhadap tekanan structural dan cultural. Namun pelacur adalah pelayan sejati, mereka tanpa menampakan emosi apapun ketika dikondosikan sebagai obyek adalah seni ketuhanan. Bukan ketidak sadaran kaum wanita, tetapi turunnya derajat pelucuran tidak lepas dari kecengengan, kegenitan, kepornoan pemikiran yang dihasilkan abad patriarki modern. Adalah suksesi terbesar didalam peradaban manusia ketika tejadi peralihan dari matriarkat ke patriarkat yang diikuti species dan intelektual, peradaban yang melahirkan para nabi dan pelacur dan betapa cengengnya kita dan Shakespeer…?

Tidak ada komentar: