Selasa, 06 November 2007

BUNG KARNO TENTANG HATI - NURANI KEMANUSIAAN

Dalam peri-kehidupan kemanusiaan di dunia ini ada beberapa kebenaran, -beberapa waarheden-, yang langgeng dan tak berubah. Waarheden yang demikian itu tak boleh ditawar atau dimodulir atau diamendir, tanpa mengubah ia dari waarheid menjadi satu kepalsuan. Ia tak boleh ditinggalkan, tanpa membuat manusia menjadi makhluk yang kehilangan kemudi.

Ambillah misalnya pokok-isi Declaration of Independence Amerika, dan Manifesto Komunis, -dua dokumen yang menurut Bertrand Russel telah membagi dunia-manusia menjadi dua golongan yang terpisah satu sama lain. Baik Declaration of Independence maupun Manifesto Komunis, kedua-duanya berisi beberapa kebenaran (waarheden) yang tetap benar, tetap laku, tetap valid selama-lamanya. Siapa, -kalau benar-benar ia Manusia, dan bukan makhluk tanpa arah-, berani mencoba mengamendir kebenaran kalimat dalam Declaration of Independence bahwa “semua manusia dilahirkan sama, dan bahwa tiap-tiap manusia itu diberi oleh Tuhan beberapa hak yang tak dapat dirampas, yaitu hak hidup, hak kebebasan, dan hak mengejar kebahagiaan” (that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are life, liberty, and pursuit of happiness). Siapa, -kalau benar-benar ia Manusia, dan bukan makhluk tanpa arah,- berani mencoba membantah kebenarannya benang-merah dalam Manifesto Komunis bahwa “Sebagian besar dari ummat manusia ini ditindas, di-onderdrukt dan di-uitgebuit oleh sebagian yang lain, sehingga akhirnya kaum proletar tak akan kehilangan barang-barang lain daripada rantai-belenggunya sendiri. Mereka sebaliknya akan memperoleh satu dunia baru. Hai, proletar seluruh dunia bersatulah!”

Kalimat-kalimat atau inti-sari fikiran yang demikian itu mengandung kebenaran-kebenaran yang boleh diragu-ragukan atau diamnedir. Dasar-jiwanya adalah Budi-Kemanusiaan, Hati-Nurani Kemanusiaan, -Het Geweten van den mens, the Conscience of Man.

Dasar-jiwanya mengenai wilayah seluruh hubungan antara manusia dengan manusia. Ia bukan piagam yang hanya mengenai satu bangsa saja, seperti misalnya Magna Charta-nya orang Inggris. Ia bukan hanya pakta antara beberapa negara yang berkuasa saja, seperti misalnya Atlantic Charter. Ia bukan hanya satu dasar untuk menyusun sesuatu Pax daripada sesuatu negara, seperti Pax Britannica, atau Pax Romana, atau Pax Americana, atau Pax Sovietica, tidak!, -ia adalah satu dasar untuk menyusun Pax yang meliputi seluruh Kemanusiaan, yaitu Pax Humanica. Pax-nya seluruhmakhluk-manusia yang mendiami bumi ini.

Di Washington tiga tahun yang lalu, saya menganjurkan Pax Humanica atas dasar Declaration of Independence itu, di Moskow saya dasarkan Pax Humanica atas beberapa kalimat Manifesto Komunis.

Manusia itu dimana-mana sama! Kemanusiaan adalah satu! Mankind is one, demikianlah saya katakan dimana-mana pada waktu saya melanglang buana, di Barat atau di Timur, di Utara atau di Selatan, di delapan penjuru dunia.

Budi-Kemanusiaan, Hati-Nurani Kemanusiaan, the Social Conscience of Man, menyerapi jiwa semua makhluk-manusia di seluruh muka bumi. Dan Social Conscience ini tak berubah-ubah, tak mau diamendir, tak mau dimodulir.

Dasar dan tujuan Revolusi Indonesia adalah kongruen dengan Social Conscience of Man itu! Keadilan Sosial, Kemerdekaan individu, Kemerdekaan bangsa, dan lain sebagainya itu, adalah pengejawantahan Social Conscience of Man itu. Keadilan sosial dan kemerdekaan adalah tuntutan budi-nurani yang universal. Karena itu, janganlah ada di antara kita yang mau mengamendir atau memodulir dasar dan tujuan Revolusi kita itu!

Saya telah mengunjungi sebagian besar dari dunia ini. Sebelumnya itu, sudah lama saya berkeyakinan, bahwa kesadaran sosial (social consciousness) rakyat-rakyat di muka bumi ini adalah sama, di manapun mereka berada. Dan keyakinan saya ini diperdalam oleh apa yang saya lihat dalam perjalanan-perjalanan saya ke luar negeri itu, di negara-negara antara lain ke negara-negara Amerika Latin. Apa yang saya lihat? Rakyat dimana-mana di bawah kolong langit ini, tidak mau ditindas oleh bangsa lain, tidak mau dieksploatir oleh golongan-golongan apapun, meskipun golongan itu adalah dari bangsanya sendiri. Rakyat di mana-mana di bawah kolong langit ini menuntut kebebasan dari kemiskinan, dan kebebasan dari rasa takut, baik yang karena ancaman di dalam negeri, maupun yang karena ancaman dari luar negeri. Rakyat di mana-mana di bawah kolong langit ini menuntut kebebasan untuk menggerakkan secara konstruktif ia punya aktivitas-sosialis, untuk mempertinggi kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat. Rakyat di mana-mana di bawah kolong langit ini menuntut kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, yaitu menuntut hak-hak yang lazimnya dinamakan demokrasi.

Itulah keyakinan saya dari dulu, dan itulah yang saya lihat di mana-mana. Tuntutan-tuntutan ini keluarnya seperti meledak dalam abad keduapuluh, tetapi sebenarnya ia telah terkandung berabad-abad dalam kalbu, oleh karena tuntutan-tuntutan itu pada hakekatnya adalah tak lain tak bukan penhejawantahan daripada Budi-Nurani Kemanusiaan, pengejawantahan daripada Conscience of Man.

Berabad-abad ia terbenam latent. Berabad-abad ia mulek dalam budi-pekerti manusia, seperti api di dalam sekam. Akhirnya, ia meledak, akhirnya ia meledak secara revolusioner, -akhirnya ia meledak secara historis-revolusioner. Sekaligus ia muntah keluar sebagai tuntutan massal yang berbareng. Sekaligus ia menjadi tuntutan yang simultan. Tak dapat lagi ia dilayani secara liter per liter, atau dipenuhi secara kilo per kilo. Tak dapat lagi ia diladeni dengan cara-cara reformistis, tak dapat lagi ia ditanggulangi secara piece meal. Tuntutan-tuntuan simultan yang mbludak keluar secara historis-revolusioner itu harus dilayani dengan cara-cara yang juga mbludak revolusioner.

Tuntutan-tuntutan Rakyat Indonesia adalah demikian jugalah! Tuntutan-tuntutan mengenai keadilan sosial, tuntutan kemerdekaan dan kebebasan, tuntutan demokrasi, dan lain-lain sebagainya itu, telah mbludak keluar secara revolusioner dalam masa generasi kita sesudah mulek berpuluh-puluh tahun dalam kalbu kita laksana api dalam sekam, -dan tuntutan-tuntutan Rakyat Indonesia inipun harus dilayani secara mbludak revolusioner. Tidak mungkin lagi ia dilayani liter per liter tidak mungkin lagi kilo per kilo. Tidak mungkin lagi secara reformis, tidak mungkin lagi secara piece meal. Tidak mungkin secara kompromis. Dan untuk melayani secara mbludak revolusioner tuntutan-tuntutan itu, kita sendiri harus berjiwa revolusioner. Itulah pula salah satu sebab kita kembali kepada Undang-Undang Dasar Proklamasi!

Presiden Sukarno, “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, pidato pada tanggal 17 Agustus 1959.

Tidak ada komentar: